Langsung ke konten utama

Jangan Salah Berdoa

Oleh: Prof Dr Yunahar Ilyas

Saya memiliki sahabat yang sangat beruntung. Tidak hanya kuliah di luar negeri, tetapi juga mendapat kesempatan bermukim di dua kota suci yang menjadi idaman banyak orang Islam. Selama empat tahun belajar di Madinah, dia dapat sepuasnya shalat di Masjid Nabawi, bahkan tidak terhitung shalat di Raudhah, satu taman surga di dunia ini. Begitu juga setelah bermukim di Makkah, dia dapat melaksanakan shalat berjamaah lima waktu, kecuali Ashar, karena lebih banyak dilaksanakan di kampus.

Setiap habis shalat, dia tak pernah lupa berdoa. Yang paling sering dia minta dalam doanya adalah semoga Allah SWT memudahkan jalan baginya menghajikan kedua orang tuanya. Tatkala melepas kepergiannya dulu ke Tanah Suci, sang ibu berkata dengan suara lirih: "Nak, apakah Ibu suatu saat mungkin sampai ke Tanah Suci itu, mencium Hajar Aswad dan berdoa di Multazam?" Setiap kali ingat pertanyaan ibunya itu, dia semakin khusyuk berdoa agar Allah memperkenankan doanya.

Alhamdulillah, doa sahabat saya terkabul. Dari hasil menyisihkan beasiswa setiap bulan, dan nyambi bisnis kecil-kecilan pada musim haji, dia dapat menghajikan kedua orang tuanya. Tidak henti-henti dia mensyukuri nikmat Allah yang tak terhingga itu. Sekarang musim haji sudah berlalu, kedua orang tuanya sudah kembali ke Tanah Air, sahabat saya konsentrasi menghadapi ujian yang sangat menentukan.

Semester ini, sahabat saya hanya mengambil satu mata kuliah. Jika satu mata kuliah ini tidak lulus juga, dia masih diberi kesempatan untuk menempuh ujian sekali lagi. Jika tidak lulus, dia akan drop out (DO). Dia optimistis lulus karena satu semester ini hanya belajar satu mata kuliah. Semua buku wajib dan yang dianjurkan profesor sudah dipelajarinya. Tetapi sayang, setelah nilai diumumkan, dia tetap tidak lulus.

Akhirnya, dia belajar lagi untuk persiapan ujian ulangan sebulan lagi. Ini ujian sangat menentukan nasibnya, terus kuliah apa pulang kampung. Profesor mata kuliah itu sudah didatanginya, memohon pengertian. Dengan dingin sang profesor menjawab: "Biasa, ujian itu ada yang lulus ada yang tidak". Apa yang dia khawatirkan itu, terjadi juga, dia tetap tidak lulus dan akhirnya apa boleh buat, dia DO.

Sebelum meninggalkan Kota Makkah, sahabat saya itu mencoba mengingat-ingat apa kesalahannya, mengapa dia sampai DO. Tiba-tiba dia ingat, suatu hari pernah berdoa di Multazam dengan penuh kekhusyukan: "Ya Allah. Izinkan aku menghajikan kedua orang tuaku. Kumohon ya Allah. Asal aku dapat menghajikan kedua orang tuaku, kuliahku DO juga tidak apa-apa ya Allah."

Sahabat saya sadar dia telah salah berdoa. Akhirnya, dia berdoa lagi dengan sepenuh hati di Multazam, memohon ampun atas kesalahannya dalam berdoa. Harusnya dia meminta kedua-duanya, dapat menghajikan kedua orang tua dan lulus ujian dengan nilai baik. Setelah memperbaiki doanya, dia coba lagi melamar strata dua di universitas lain di Arab Saudi.

Alhamdulillah, dengan karunia dan izin Allah, dia diterima lagi kuliah S2 di kampus lain. Sekarang sahabat saya itu sudah menyelesaikan pendidikan doktornya dan berkiprah di Tanah Air. Itulah pelajaran dari sahabat saya, jangan salah berdoa, memohon kepada Allah.

sumber: Republika.co.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngerjain tugas dapet banyak duit

Huhh...sudah lama banget kayanya ngak nyentuh dengan blog ini. Mungkin dikaenakan dengan kesibukan Ujian-ujian sekolah, maklum masih sekolah,hhe dan yang pastinya dengan penyempurnaan blog baru saya " Exploring Indonesia ". Ok langsung saja kita mulai lagi. Pda postingan kali ini saya akan memberitahu ada satu lagi program yang didesian khusus untuk kita (orang uang kekurangan duit). Untuk mendapatkan uangnya tidaklah terlalu ribet, baru daftar saja langsung dapat $1.5, lumayan gak tuh? Nah bisnis ini bernama myeasytask, jadi disini kita mengerjakan tugas seperti daftar di situs orang, membuat review tentang sesuatu, promosi web orang ke forum dan lain sebagainya. Nah keuntungan yang anda dapatkan dengan bergabung dengan program ini adalah: 1. Mendapatkan Bonus langsung sebesar $1.5 2. Komisi $0.20 per refferal 3. setiap kali mengerjakan tugas anda akan mendapatkan rata-rata $0.1 – $1, dengan asusmsi setiap hari anda mengerjakan tugas 10x maka anda akan mendapatkan $1/hari de...

Beasiswa D2, D3, dan S1 ke Jepang 2013/2014

Akhirnya beasiswa D2, D3, dan S1 untuk tahun ajaran 2013/2014 kembali dibuka juga. Akhir-akhir ini, kita paling sering mendapat pertanyaan seputar beasiswa ke Jepang ini, apakah tahun ini kembali dibuka, apakah rutin diadakan setiap tahunnya, dll. Sempat bikin kita ketar-ketir juga, soalnya tanggal pembukaan beasiswa ini sedikit mundur dari tahun kemarin. Padahal program yang rutin diadakan oleh Pemerintah Jepang setiap tahunnya ini merupakan beasiswa favorit teman-teman, terlihat dari banyaknya jumlah pertanyaan setiap kali ada informasi seputar beasiswa ini. Persyaratan Umum Lahir antara 2 April 1991 dan 1 April 1996 Lulus SMA dengan nilai rata-rata ijazah atau rapor kelas 3 semester terakhir minimal: 8,4 untuk jenjang S1 8,2 untuk jenjang D3 8,0 untuk jenjang D2 Program Studi Pilihan D2 mana masa belajar adalah 2 tahun (termasuk belajar bahasa Jepang selama 1 tahun). Civil Engineering and Architecture; Electrical and Electronic Engineering; Wireless Communicatio...

Online hate speech could be contained like a computer virus, say researchers

Artificial intelligence is being developed that will allow advisory ‘quarantining’ of hate speech in a manner akin to malware filters – offering users a way to control exposure to ‘hateful content’ without resorting to censorship. The spread of hate speech via social media could be tackled using the same ‘quarantine’ approach deployed to combat malicious software, according to University of Cambridge researchers. Definitions of hate speech vary depending on nation, law and platform, and just blocking keywords is ineffectual: graphic descriptions of violence need not contain obvious ethnic slurs to constitute racist death threats, for example. As such, hate speech is difficult to detect automatically. It has to be reported by those exposed to it, after the intended “psychological harm” is inflicted, with armies of moderators required to judge every case. This is the new front line of an ancient debate: freedom of speech versus poisonous language. Now, an ...