Langsung ke konten utama

Fira Basuki, penuh kata kata

“Jika ditanya darimana bakat menulisnya berasal, maka Fira Basuki (38), Pemimpin Redaksi majalah Cosmopolitan Indonesia sekaligus penulis buku-buku best seller—diantaranya Jendela, Pintu, Atap, serial Miss B, dll—akan menjawab dengan pasti ‘It’s gifted’. Bakat menulis yang mengalir deras disertai dengan peran dan dukungan dari orang tua mengiringi pencapaian kesuksesannya karirnya saat ini.”

Fira Basuki

Peran Orang Tua

Apa yang terlintas di benak orang saat mendengar kalimat ‘bangsawan jawa berdarah biru’? Kebanyakan mungkin akan menjawab: kaku, banyak aturan, larangan, dan sebagainya. Tapi hal itu tidak terjadi pada Fira Basuki. Lahir dalam lingkungan keluarga turunan Keraton Yogyakarta (Bapak keturunan Sultan Hamengkubuwono III, Ibu keturunan Pakualam 1 Demak dan Sunan Kalijaga) tidak membuat hidupnya seolah berada dalam kungkungan adat yang mengikat. Selain menjunjung tinggi nilai kedisiplinan dan keterbukaan, kedua orang tuanya sangat berperan dalam menata masa depan anaknya sejak dini. Dukungan sepenuhnya diberikan pada apa yang menjadi minat sang anak bahkan hingga sekolah S2 di luar negeri sekalipun.

Hal tersebut dirasakan Fira sedari duduk di bangku kelas 2 SD. Ketika gurunya telah dibuat tertegun kagum membaca tugas/puisi pertamanya yang berjudul “Pada Sebuah Taman”. Semenjak kabar itu diketahui Ibunda, Sang Ibu pun terus menyemangatinya untuk mengikuti ajang-ajang kompetisi. Penghargaan dari lomba menulis selalu diraihnya hingga bangku SMA. Bahkan beberapa cerpennya ada yang sampai dimuat di majalah-majalah remaja nasional masa itu seperti Gadis dan Hai.

Kemampuan menulisnya disadarinya sebagai sebuah bakat. It’s gifted. Seolah bernafas dengan kata-kata, dengan lancar segala pemikirannya dapat dituangkan menjadi tulisan yang menarik. Meskipun telah menyadari akan kemampuannya, di awal ia tidak punya ambisi tertentu dengan dunia penulis, melainkan peran Ibundalah yang seakan mendidik karir menulisnya hingga bisa menjadi seperti saat ini. Menurut Fira, Ibunya adalah role model yang nyata akan sosok Ibu yang sempurna, yang selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Menanamkan nilai-nilai sejak kecil terutama tentang kedisiplinan yang begitu membekas baginya ketika harus selalu bangun di pagi-pagi buta untuk shalat subuh berjamaah setiap harinya hingga terbiasa. Hal itu membuatnya kini menjadi bisa mengatasi mood ketika menulis karena telah terbiasa untuk disiplin dan komitmen terhadap waktu. Tidak terlewat juga norma-norma etika serta nilai budaya Jawa ditanamkan, yang kini berpengaruh pada beberapa tulisannya yang sarat akan budaya Jawa. Ditambah lagi kegemaran membaca sedari kecil hingga berbagai jenis buku dibelinya di tiap minggu, tak heran jika otak selalu terisi oleh pemikiran dan terbuka oleh wawasan yang luas.

“Orang tua saya berprinsip untuk selalu memberi dukungan terhadap anaknya atas hal yang disukai, sepenuhnya. Selain itu, Ibu saya selalu berusaha mengeluarkan the best of me

Tetap berada pada Jalur

Tanpa ragu lagi. Disaat kebanyakan orang kuliah di luar negeri memilih jurusan teknologi atau bisnis, jurusan jurnalisme dengan mantap diambilnya. Di Pittsburg State University, USA, karir sebagai seorang jurnalis merangkap penulis mulai dirintis. Dari menjadi penulis dan reporter untuk koran kampus Collegio sampai kontributor koran lokal the Morning Sun. Bahkan sempat menjadi pembawa acara di televisi lokal Pittsburg CAPS-3 TV pada program mengenai seni dan budaya.

Pendidikan S2 dilanjutkannya di jurusan Public Relations Wichita State University, USA. Disana Ia pun menjadi penulis koran lokal, Sunflower. Sepulangnya ke Indonesia tahun 1997, Dewi, majalah fesyen terkemuka di Indonesia merekrutnya menjadi beauty writer/feature writer. Setelah menikah di tahun yang sama dengan seorang berkebangsaan Filipina-Tibet dan dikaruniai seorang anak, Syaza Calibria Galang (11), Fira beserta keluarga kecilnya pun pindah ke Singapura, dan menjadi Kontributor untuk majalah Harper’s Bazaar Jakarta.

Saat pernikahannya terasa sulit untuk dipertahankan lagi, keluarga tetap ada di belakangnya untuk membela dan mendukung apa yang menjadi yang terbaik. Profesionalitas dalam berkarir di media cetak (majalah) maupun sebagai penulis dijalaninya tanpa memilah-milah pekerjaannya. Setibanya kembali ke Indonesia 2004-2006 pimpinan redaksi majalah SPICE! dijabatnya. Dalam kurun waktu itu pula (2001) berkat seorang teman novelnya yang berjudul ”Jendela-Jendela” diterbitkan. Saat ini posisi pimpinan redaksi Cosmopolitan Indonesia dijabatnya, serta sebanyak 25 buku pun telah dilahirkannya. Konsistensi terhadap jalur yang telah dirintisnya sejak kecil membuatnya selalu siap menghadapinya apabila hambatan menghampiri.

Upaya Pelestarian Budaya

Selalu ada unsur kebudayaan tersirat dalam bukunya, baik budaya tradisional maupun modern, dalam maupun luar negeri, namun terutama Indonesia. Berbagai jenis budaya di Indonesia dilibatkan dalam karyanya seperti Jawa Tengah, Sunda, Sumatera Barat, Bali, hingga Bugis, sebagai upaya nyata pelestarian budaya Indonesia. Dan ketika ia harus menuliskannya, berbagai riset dilakukan sebelumnya dengan serius, dari mulai membeli buku-buku yang bersangkutan, menonton pertunjukan kebudayaannya, datang langsung ke daerahnya, bahkan hingga mengikuti kursus kebudayaan tersebut dilakukan.

Oleh karena itu, salah satu mimpinya adalah agar lebih banyak buku-buku karya penulis Indonesia yang diterjemahkan dalam bahasa asing agar bisa go international.

“Kalau karya saya diterjemahkan dalam bahasa asing, tersebar di luar negeri dan laku, ini bukan cuma untuk saya saja, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa orang Indonesia bisa membuat tulisan yang bagus, apalagi yang menunjukkan banyak kebudayaan Indonesia di dalamnya”

Harapan akan Kesuksesan

Pandangannya tentang perkembangan belantika sastra Indonesia belakangan ini, Ia tidak begitu mempermasalahkan. Dengan semakin banyaknya aliran dan jenis tulisan justru akan membuat karya semakin kaya, semakin banyak pilihan yang ada di toko buku. Sudah saatnya penulis layaknya selebritis yang diidolakan, agar generasi muda sekarang bisa mengambil contoh figur penulis dan ingin mengikuti jejaknya. Kenapa tidak? Penulis juga bisa hidup dari tulisan-tulisannya. Ini sekaligus menjadi kritik yang dilontarkan olehnya kepada pemerintah.

“Pajak penulis saat ini terlalu besar (15%), tidak sebanding dengan royalti penulis pemula (10%). Belum lagi biaya kertas dan pajak penerbitan yang tinggi. Buku menjadi barang mewah, banyak orang tua yang lebih mampu membelikan mainan kepada anaknya daripada buku.”

Dibalik tentang penulisan buku-buku best seller-nya dirinya tidak terlalu tergantung dengan mood yang baik ataupun tempat yang nyaman untuk menginspirasinya, semua bisa dilakukannya dimanapun dan dalam kondisi apapun. Yang menjadi hambatan selama ini hanyalah masalah sisa waktu dari pekerjaan sehari-harinya sebagai Pimred majalah dan single parents. Tujuan utama menulis baginya bukan untuk meraih suatu pencapaian tertentu atau bahkan meraup keuntungan sejumlah nominal tertentu. Karena ia terbiasa menulis dari dalam hati, tujuannya adalah agar orang yang membaca bisa memperoleh sesuatu dari tulisannya dan tidak merasa rugi sudah membelinya. Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik akan terus diupayakannya untuk si pembaca, meski tidak terlalu berharap banyak karena semua (presepsi) kembali ke pribadi masing-masing pembaca.

Ketika berbicara tentang kesuksesan, menurutnya sukses adalah ketika kita bisa mensukseskan orang-orang terdekat kita. Tidak terlepas kesuksesan pun diharapkan dari para calon penulis baru di luar sana. Tips dari Fira: Yang pertama, menulislah dari dalam hati dan proses itu harus disukai sehingga tidak terbesit keinginan untuk menjadi seorang yang terkenal, karena kembali lagi tujuan utamanya adalah menulis. Yang kedua, teruslah mengisi jiwa dan raga dengan sesuatu yang positif seperti membaca, travelling, menonton film sehingga dalam menulis akan lebih bijak dan tidak berpihak karena memberikan banyak pandangan. Dan sampai saat ini, seorang Fira Basuki terus berproses untuk mencapainya.


sumber : Indonesiakreatif

Komentar

Postingan populer dari blog ini

30 Karya Fotografi Siluet Yang Keren

Dalam fotografi , siluet   didefinisikan   sebagai garis   yang muncul dan berwarna  gelap   dengan latar belakang   cahaya.   Ini menghasilkan  sebuah  hasil yang sangat   mengesankan dan   akan dianggap   sebagai pilihan terbaik  ketika   seniman   ingin   menyampaikan   drama, dan   emosi dalam  foto-fotonya .   Bagian belakang - pencahayaan   dari   segala  bayangan   matahari   ke arah kamu   dan menghasilkan   efek ini. Strategi dasar   Anda harus   mempekerjakan dalam   mengambil gambar   siluet   adalah untuk menempatkan   subjek di   depan beberapa   sumber   cahaya dan   kamera   untuk mendorong   Anda untuk membuat   pandangannya   yang didasarkan   pada bagian  terang dari   gambar Anda. Berikut ini kami tampilkan koleksi karya-karya terhebat yang menjelaskan konsep tentang siluet. Silakan dinikmati atau mungkin bisa kamu donlod dan dijadikan wallpaper dekstop kamu hehe.

10 Seniman Dengan Bayaran Tertinggi 2010

Apa yang diperlukan untuk menjadi salah satu musisi dengan bayaran tertinggi di tahun 2010? yupp !! sebuah konsistensi karir mereka, hampir setengah dari seniman yang ada dalam daftar berikut adalah musisi - musisi yang telah lama berkiprah di dunia seni dan kembali muncul kepermukaan bersaing dengan para pendatang baru. Sebuah pertunjukkan seni bisa dikatakan sukses atau berhasil itu tergantung dari siapa yang perform di acara itu. Berikut 10 seniman dengan bayaran tertinggi di tahun 2010. 10. Black Eyed Peas $48 million Sejak terjun ke dunia seni di awal tahun 2000-an, Black Eyed Peas telah di undang dimana - mana dari acara Super Bowl pre-game sampai ke diskusi politik di CNN. Sebuah tur keliling dunia dimulai dari swiss ke meksiko  dengan meraup sekitar $ 800,000 dalam semalam.  9. Kenny Chesney $50 million Chesney kembali melanjutkan karirnya dalam industri musik Country dengan melakukan berbagai kegiatan tur. Pada tahun 2009 lalu Chesney mendapatkan $ 71 juta dan sekitar $

Mobil Kepresidenan RI yang Pertama

Setiap kepala Negara memiliki mobil kepresidenan sebagai kendaraan dinas sehari-hari. Zaman Presiden Soekarno, Indonesia juga telah memiliki sejumlah mobil kepresidenan. Mobil-mobil itu sekarang disimpan dalam Museum Gedung Joeang ’45, Jakarta. Kendaraan dinas Presiden dan Wakil Presiden Ri yang pertama adalah mobil Buick-8 dan DeSoto. Mobil Buick-8 digunakan oleh Presiden Soekarno pada masa selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kendaraan berpelat nomor Rep-1 ini banyak berjasa karena turut mendukung Presiden Soekarno dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dalam periode 1945-1949. Cerita tentang bagaimana Buick-8 ini menjadi mobil kepresidenan cukup unik. Pada tahun 1945, Ketua Barisan Banteng, Sudiro, menemukannya dibelakang kantor Departemen Perhubungan yang digunakan Jepang. Gedung ini sekarang menjadi kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Jalan Merdeka Timur, Jakarta. Sudiro paham, Buick-8 bukanlah mobil sembarangan. Ia lantas membujuk supirnya untu