Langsung ke konten utama

Co-Founder : Menemukan Sang Belahan Jiwa

Seorang panglima perang sekaligus filsuf asal China pernah berkata “Keep your friends close, keep your enemies closer“. Sebuah kutipan yang sangat powerful, selalu mengiang di pikiran saya dan di pikiran banyak orang yang menggeluti bisnis, politik dan pastinya militer. Namun agaknya kutipan tersebut tidak berlaku ketika anda memilih co-founder untuk membangun sebuah startup.

Co-founder adalah seseorang yang anda percaya untuk diajak memulai sebuah startup bersama-sama, duka derita, gundah gulana akan dialami bersama untuk menuju kesuksesan. Menemukan co-founder yang tepat terkadang jauh lebih penting daripada menemukan ide yang tepat untuk sebuah startup. Bingung? I’ll explain.

Mencari seorang co-founder itu tidak bisa dianggap remeh, banyak sekali startup yang gagal berkembang hanya karena adanya dispute / perselisihan antar co-founder. Konyol jadinya ketika dulu sama-sama berdarah-darah memulai sebuah startup, ternyata keduanya memiliki visi dan agenda yang berbeda di masa datang. Memang tidak mudah menemukan orang yang satu visi dan misi dengan anda, namun sepertinya hal ini sangat esensial dan tidak bisa dilewatkan begitu saja.


Memilih co-founder itu seperti memilih istri/suami, ada tahap-tahap yang normalnya dilewati sebelum mengikat janji sehidup semati dan mengarungi bahtera rumah tangga. Berkenalan, timbul chemistry, penjajakan (pedekate), pacaran dan sampai di the ultimate commitment untuk memulai sebuah startup.

Lihatlah betapa romantisnya pertemuan antara Toni dan Ivan yang akhirnya membentuk NavinoT, lamaran yang ditulis melalui sebuah surat elektronik yang akhirnya menjadi awal mula perjuangan mereka di kancah perbloggingan. Sebuah perjumpaan yang unik, long-distance relationship yang secara setia mereka jalani hingga akhirnya Ivan kembali ke tanah air.

Jobs-Wozniak, Gates-Allen, Hewlett-Packard, Yang-Filo, Brin-Page, Williams-Stone-Dorsey, semuanya memilih pasangan yang tepat untuk memulai startup, meskipun akhirnya Dorsey memilih untuk mundur dari jabatan CEO Twitter dan fokus membangun startup yang baru. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, berapa sih jumlah co-founder yang ideal? Dari pendapat pribadi dan beberapa kasus startup yang sudah sukses sekarang, sepertinya 2 co-founder sudah cukup dan ideal untuk memulai sebuah startup. Ya tentu saja ada yang berhasil mengembangkan startup sendirian (Facebook) namun sangat jarang ada yang mampu mengikuti jejaknya dan kebanyakan VC company menolak untuk berinvestasi di sebuah startup dengan single founder. Alasannya? Too much ego.

Ada juga yang sukses dengan lebih dari dua founder (Twitter), namun pada akhirnya hanya ada dua founder yang menonjol dalam proses pengambilan keputusan (mungkin ini sebabnya Jack Dorsey mundur sebagai CEO). Lebih dari 3 founder pun nantinya bisa mengakibatkan rumitnya proses pengambilan keputusan di startup tersebut.

Two brains are better than one, but too much brain could kill you.

Lalu bagaimana dengan skill yang dimiliki? Kebanyakan startup berfikir untuk mencari co-founder dengan variasi skill yang berbeda, biasanya programmer-businessmen. Di satu sisi ada betulnya sih, tapi agak kurang sreg juga buat saya untuk mematok pendapat seperti itu. Komposisi yang paling sreg buat saya adalah : satu builder, satu seller. Seller disini tidak berarti harus sarjana ekonomi, sales dan businessmen, maksudnya adalah orang yang bisa menjual. Founder pertama membangun, founder kedua menjual, dan itu-pun lebih ke arah fungsional dari kedua founder dan tidak terbatas satu fungsi pada satu founder juga.

Contoh Apple, Steve Jobs dan Steve Wozniak adalah dua builder yang handal yang mampu membuat sebuah sistem komputer skala rumahan dengan revolusioner. Namun Steve Jobs disini memiliki dua fungsi, selain jadi builder namun dia juga mengimbangi kemampuan teknisnya dengan kemampuan menjual. Begitu pula dengan Bill Gates dan Paul Allen dimana Bill Gates selain memiliki kemampuan programming yang luar biasa juga mampu menjual produknya dengan baik.

Yang pasti, kedua co-founder harus memiliki kemampuan yang saling melengkapi dan menutup kekurangan satu sama lain dan jangan ada overlapping antar co-founder.

Dan sekali lagi saya tegaskan, founders adalah jiwa dari sebuah startup. Tanpa founders, startup akan kehilangan arah. Itu kenapa ketika perusahaan besar mengakuisisi sebuah startup, mereka akan pastikan founders tetap tinggal di dalam perusahaan tersebut. Kecuali perusahaan besar itu memang berniat untuk membunuh startup itu ya ;)

Inilah sebabnya saya kemukakan diatas bahwa menemukan co-founder yang tepat itu lebih penting daripada menemukan ide yang tepat untuk sebuah startup. Ide yang cemerlang bisa gagal dieksekusi ketika founders tidak cocok, namun founders yang sudah cocok memiliki kesempatan lebih banyak untuk menemukan ide brilian lainnya dan mengeksekusinya dengan sempurna.

So, sudahkah anda menemukan jodoh yang tepat untuk mengarungi hidup membangun startup bersama? Kalau sudah, segera persiapkan anda dan startup anda untuk SparxUp Awards 2010 ;)


Source: dailysocial.net

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngerjain tugas dapet banyak duit

Huhh...sudah lama banget kayanya ngak nyentuh dengan blog ini. Mungkin dikaenakan dengan kesibukan Ujian-ujian sekolah, maklum masih sekolah,hhe dan yang pastinya dengan penyempurnaan blog baru saya " Exploring Indonesia ". Ok langsung saja kita mulai lagi. Pda postingan kali ini saya akan memberitahu ada satu lagi program yang didesian khusus untuk kita (orang uang kekurangan duit). Untuk mendapatkan uangnya tidaklah terlalu ribet, baru daftar saja langsung dapat $1.5, lumayan gak tuh? Nah bisnis ini bernama myeasytask, jadi disini kita mengerjakan tugas seperti daftar di situs orang, membuat review tentang sesuatu, promosi web orang ke forum dan lain sebagainya. Nah keuntungan yang anda dapatkan dengan bergabung dengan program ini adalah: 1. Mendapatkan Bonus langsung sebesar $1.5 2. Komisi $0.20 per refferal 3. setiap kali mengerjakan tugas anda akan mendapatkan rata-rata $0.1 – $1, dengan asusmsi setiap hari anda mengerjakan tugas 10x maka anda akan mendapatkan $1/hari de...

Beasiswa D2, D3, dan S1 ke Jepang 2013/2014

Akhirnya beasiswa D2, D3, dan S1 untuk tahun ajaran 2013/2014 kembali dibuka juga. Akhir-akhir ini, kita paling sering mendapat pertanyaan seputar beasiswa ke Jepang ini, apakah tahun ini kembali dibuka, apakah rutin diadakan setiap tahunnya, dll. Sempat bikin kita ketar-ketir juga, soalnya tanggal pembukaan beasiswa ini sedikit mundur dari tahun kemarin. Padahal program yang rutin diadakan oleh Pemerintah Jepang setiap tahunnya ini merupakan beasiswa favorit teman-teman, terlihat dari banyaknya jumlah pertanyaan setiap kali ada informasi seputar beasiswa ini. Persyaratan Umum Lahir antara 2 April 1991 dan 1 April 1996 Lulus SMA dengan nilai rata-rata ijazah atau rapor kelas 3 semester terakhir minimal: 8,4 untuk jenjang S1 8,2 untuk jenjang D3 8,0 untuk jenjang D2 Program Studi Pilihan D2 mana masa belajar adalah 2 tahun (termasuk belajar bahasa Jepang selama 1 tahun). Civil Engineering and Architecture; Electrical and Electronic Engineering; Wireless Communicatio...

Online hate speech could be contained like a computer virus, say researchers

Artificial intelligence is being developed that will allow advisory ‘quarantining’ of hate speech in a manner akin to malware filters – offering users a way to control exposure to ‘hateful content’ without resorting to censorship. The spread of hate speech via social media could be tackled using the same ‘quarantine’ approach deployed to combat malicious software, according to University of Cambridge researchers. Definitions of hate speech vary depending on nation, law and platform, and just blocking keywords is ineffectual: graphic descriptions of violence need not contain obvious ethnic slurs to constitute racist death threats, for example. As such, hate speech is difficult to detect automatically. It has to be reported by those exposed to it, after the intended “psychological harm” is inflicted, with armies of moderators required to judge every case. This is the new front line of an ancient debate: freedom of speech versus poisonous language. Now, an ...