Oleh: Muhammad Saifudin Kodiran
Allah SWT dalam surat An Anas mengajarkan setiap hamba untuk memohon perlindungan kepada-Nya agar terhindar dari keadaan al-waswas. Permohonan dalam surat itu menggunakan tiga sifat sekaligus, yaitu Rabbin Nas, Malikin Nas dan Ilahin Nas. Kata Rabb, bermakna pemelihara, pendidik dan pencipta yang berkonotasi dengan sifat kasih-sayang; Malik, bermakna raja dan penguasa dengan kesan bijaksana, tegas dan adil; dan Ilah berkenaan dengan ubudiyah dan keyakinan.
Ketiga sifat itu digunakan untuk memohon perlindungan dari satu masalah saja, yaitu Al waswas fi shudurin nas.[1] Al-waswas secara bahasa berarti bisikan-bisikan suara halus[2] yang merasuk dalam sanubari. Dengan bahasa sederhana, bisa dipahami sebagai rangkaian situasi emosional yang tidak seimbang yang kerap menyesakkan dada.
Keseimbangan emosi merupakan ciri pribadi yang sehat. Keseimbangan emosi menjadi faktor terpenting bagi efektifitas nalar untuk mampu bekerja secara baik. Al Qur’an menilai bahwa menjaga keseimbangan emosi (al kadziminal ghaidh) adalah ciri dari ketakwaan (lihat QS.3:134).
Demikian pula Rasulullah SAW memuji dan menyebut orang yang dapat menjaga emosi sebagai orang yang kuat, diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "bukanlah orang kuat itu adalah orang yang hebat bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan emosinya ketika ia marah" (HR Bukhari dan Muslim)[3]
Dalam kamus Psikologi, keseimbangan emosi disebut dengan emotional stabilty, karakteristik seseorang yang memiliki kontrol emosional yang baik. Terkadang diistilahkan juga dengan emotional maturity (kedewasaan emosional), yaitu satu keadaan mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional.[4]
Sebaliknya, emosi yang tidak seimbang (Al-waswasu) dapat mengakibatkan kecemasan (anxiety), kegelisahan (nerveus), kekawatiran yang berlebih dan sikap tak bertanggung jawab. Kondisi semacam ini bisa menghambat sistem kerja otak menalar setiap masalah secara optimal. Sehingga dapat menyebabkan kebimbangan yang berlarut.[5] Al Qur’an mencela orang yang demikian, “mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian, tidak masuk kepada golongan ini dan tidak (pula) kepada golongan itu (QS.4:143)
Rasulullah SAW selalu memperingatkan sahabatnya, “Jangan suka marah (emosi)." Sahabat itu terus bertanya dan Nabi SAW berulang kali berpesan, “Jangan suka marah.” (HR. Bukhari)
Situasi semacam ini bisa ditimbulkan oleh faktor internal meliputi tingkat kematangan emosi, pola berfikir[6] dan kualitas keyakinan (iman). Dapat pula disebabkan adanya pengaruh kuat dari faktor eksternal (bisikin jin atau perilaku orang lain[7]).
Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak sepantasnya mengambil suatu keputusan, sebab sikap yang diputuskan dalam situasi demikian hanya akan menciptakan masalah yang lebih rumit. Dalam hadits riwayat Abu Bakrah, Rasululah SAW bersabda, “seseorang janganlah memutuskan perkara antara dua orang sedang ia dalam keadaan marah” (HR Bukhari dan Muslim). Dan sebaiknya memilih untuk diam menenangkan diri “bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah diam’(HR Ahmad).
Atau dengan mengambil air wudhu, “sesungguhnya kemarahan itu dari syetan, sungguh syetan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api dapat padam dengan air, maka jika salah seorang dari kalian marah hendaklah berwudhu” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Wallahu a’lamu birodih
Penulis adalah dosen LSUQ Bandung dan Kandidat Doktor UIN SGD Bandung
Komentar
Posting Komentar
Ayo utarakan saran atau tambahan atau bahkan kritik lewat Komentar