Artikel ini diambil dari Harian Kompas nomor 039 Tahun ke-46 oleh Emilius Caesar Alexey dan Neli Triana
Lima hari terakhir, pemandangan kontras terlihat di Jakarta. Sterilisasi menyebabkan jalur bus Transjakarta bebas hambatan, tetapi pengguna jalur regular dipaksa terbebat kemacetan yang mebuat frustasi.
Kamis(5/8) pagi, Martin yang biasanya menyetir mobil menuju Jalan Jendral Sudirman justru mengarah ke barat menuju Ragunan. Warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu ingin membuktikan tentang berita jalur bus transjakarta yang lebih cepat daripada biasanya.
Mobilnya diparkir di dekat Kebun Binatang Ragunan dan Martin berjalan kea rah halte bus transjkarta di Terminal Ragunan, ujung koridor VI Ragunan-Dukuh Atas. Uang pembayar tiket sudah tersedia di sakunya dan dompet masuk ke tas untuk menghindari pencopetan.
“Saya ingin mencoba angkutan massal yang katanya sudah lebih cepat karena sterilisasi ini. Saya sudah bosan terjebak kemacetan dan harus membayar joki saat menuju ke Jalan Sudirman, “ kata Martin yang menjadi asisten manager perusahaan yang berkantor di Chase Plza.
Hanya menunggu sepuluh menit, Martin sudah memasuki bus dan terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Sepanjang jalan Martin terus melihat ratusan kendaraan terjebak macet di Jalan Mampang Prapatan.Banyaknya persimpangan jalan, padatnya kendaraan pribadi, dan tidak teraturnya kendarran umum yang berhenti di sembarang tempat membuat jalan itu tidak lepas dirundung macet. Namun, bus transjakarta dapat melaju kencang karena semua celah bagi kendaraan pribadi untuk menerobos dijaga polisi, petugas dinas perhubungan dan satpol PP.
Senyum Martin makin mengembang saat melihat jam tangannya. Perjalanan Ragunan ke Dukuh Atas hanya butuh 50 menit. Jauh lebih cepat daripada perjalanan dengan mobil yang membutuhkan waktu sampai lebih dari dua jam.Menurut perhitungan BLU Transjakarta, sterilisasi membutuhkan waktu tempuh bus transjakarta meningkat pesat dari rata-rata 85 menit menjadi 50 menit dari Ragunan ke Dukuh Atas dan sebaliknya.
Bus transjakarta yang melayani rute Ragunan-Dukuh Atas bersama tiga koridor lain, yaitu Kalideres-Pasar Baru, Kampung Melayu – Ancol, dan Blok M – Kota, memang menjadi sasaran utama kebijakan sterilisasi. Kebijakan ini ditelurkan Pemerintah DKI Jakarta dengan harapan mampu mengurai kemacetan parah yang selalu terjadi di Jakarta.
Fasilitas minim
Namun, selain keempat koridor itu, kondisi yang menyiksa dirasakan baik oleh pengguna jalur regular maupun pengguna kedaraan pribadi. Bus Transjakarta di koridor VIII Lebak Bulus – Harmoni, misalnya, selalu terjebak kemacetan. Mulai dari pagi sampai malam, jalur khusus yang diberi karpet merah dan tidak memiliki pemisah jalan itu tidak pernah berhenti diterobos kendaraan pribadi.
Sebagai angkutan missal yang diharapkan dapat melaju cepat, bus transjakarta di Koridor VIII justru melaju sama lambatnya dengan kendaraan pribadi. Karena tidak menjadi bagian dalam proses sterilisasi, jalur bus transjakarta hanya dijaga sedikit petugas di jalan Sultan Iskandar Muda.
Polisi yang sering menilang penerobos jalaur transjakarta juga jarang terlihat beroperasi di Koridor VIII. Koridor ini bagaikan anak tiri BLU Transjakarta karena jumlah busnya terbatas dan jalurnya paling banyak diterobos oleh kendaraan pribadi. Keruwetan di jalur regular juga terlihat di Jalan Daan Mogot, Jakarta barat. Pengguna sepeda motor yang tergencet jalur pedestrian yang ada di sisi jalan. “Kalau jalannya ngak macet, ya ngak lewat sini,” katanya.
Fasilitas park and ride yang seharusnya ada untuk memudahkan pengguna bus transjakarta pun ternyata belum memadai. Di Terminal Kalideres, lokasi park and ride berada dibagian belakang terminal dan tertutup bus-bus antarkota antarprovinsi yang parker. Tidak ada plang besar atau papan petunjuk arah yang memberi tahu adanya park and ride dan mengundang masyarakat memanfaatkan saran tersebut.
Lahan park and ride di sebelah Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, tampak merana dan sepi pengguna. Selain tak dilengkapi papan petunjuk, bentuk lahan pun menyulitkan kendaraan yang hendak masuk ke sana dan rawan banjir. Lahan rawan banjir karena dibuat lebih rendah dari dataran sekelilingna.
Hanya di Ragunan, fasilitas park and ride berfungsi optimal. Lebih dari kendaraan, mobil atau sepeda motor tertampung di sini. Selain masalah fasilitas, keberadaaan bus transjakarta yang belum menjangkau seluruh wilayah kota dan belum terintegrasi dengan moda transportasi lain menyebabkan warga enggan menggunakanya.
Wijaya (22), warga tanah abang yang bekerja di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat, dan Anwar (26), warga kampong Lebak Pasir, Pejaten, Jakarta Selatan, yang bekerja di Karet, Jakrta Pusat, mengatakan, dari rumah ke tempat kerja, mereka setidaknya butuh tiga kali ganti anggutan umum. Kalau pakai angkutan umum, Anwar harus mengeluarkan uang Rp 7.500 – Rp 9.000 sekali jalan. Sementara dengan Rp 9.000 itu, ia bisa membeli bensin dan memakai sepeda motornya pergi pulang kerja selama dua hari.
Tidak Sempurna
Penerapan sterilisasi jalaur khusus bus transjakarta, menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, memang sebuah kebijakan tak sempurna. Kebijakan yang muncul akibat tekanan dan tidak didukung kebijakan lain yang menunjang. Akibatnya, muncul kesenjangan tajam di jalanan.
Namun, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Pemprov DKI diminta segera melengkapi fasilitas yang dibutuhkan. Sementara pemerintah pusat wajib mendukung dengan mempermudah upaya intergrasi dengan moda transportasi lain, seperti kereta api, dan secara bersamaan menata system transportasi Jabodetabek.
Kamis(5/8) pagi, Martin yang biasanya menyetir mobil menuju Jalan Jendral Sudirman justru mengarah ke barat menuju Ragunan. Warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu ingin membuktikan tentang berita jalur bus transjakarta yang lebih cepat daripada biasanya.
Mobilnya diparkir di dekat Kebun Binatang Ragunan dan Martin berjalan kea rah halte bus transjkarta di Terminal Ragunan, ujung koridor VI Ragunan-Dukuh Atas. Uang pembayar tiket sudah tersedia di sakunya dan dompet masuk ke tas untuk menghindari pencopetan.
“Saya ingin mencoba angkutan massal yang katanya sudah lebih cepat karena sterilisasi ini. Saya sudah bosan terjebak kemacetan dan harus membayar joki saat menuju ke Jalan Sudirman, “ kata Martin yang menjadi asisten manager perusahaan yang berkantor di Chase Plza.
Hanya menunggu sepuluh menit, Martin sudah memasuki bus dan terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Sepanjang jalan Martin terus melihat ratusan kendaraan terjebak macet di Jalan Mampang Prapatan.Banyaknya persimpangan jalan, padatnya kendaraan pribadi, dan tidak teraturnya kendarran umum yang berhenti di sembarang tempat membuat jalan itu tidak lepas dirundung macet. Namun, bus transjakarta dapat melaju kencang karena semua celah bagi kendaraan pribadi untuk menerobos dijaga polisi, petugas dinas perhubungan dan satpol PP.
Senyum Martin makin mengembang saat melihat jam tangannya. Perjalanan Ragunan ke Dukuh Atas hanya butuh 50 menit. Jauh lebih cepat daripada perjalanan dengan mobil yang membutuhkan waktu sampai lebih dari dua jam.Menurut perhitungan BLU Transjakarta, sterilisasi membutuhkan waktu tempuh bus transjakarta meningkat pesat dari rata-rata 85 menit menjadi 50 menit dari Ragunan ke Dukuh Atas dan sebaliknya.
Bus transjakarta yang melayani rute Ragunan-Dukuh Atas bersama tiga koridor lain, yaitu Kalideres-Pasar Baru, Kampung Melayu – Ancol, dan Blok M – Kota, memang menjadi sasaran utama kebijakan sterilisasi. Kebijakan ini ditelurkan Pemerintah DKI Jakarta dengan harapan mampu mengurai kemacetan parah yang selalu terjadi di Jakarta.
Fasilitas minim
Namun, selain keempat koridor itu, kondisi yang menyiksa dirasakan baik oleh pengguna jalur regular maupun pengguna kedaraan pribadi. Bus Transjakarta di koridor VIII Lebak Bulus – Harmoni, misalnya, selalu terjebak kemacetan. Mulai dari pagi sampai malam, jalur khusus yang diberi karpet merah dan tidak memiliki pemisah jalan itu tidak pernah berhenti diterobos kendaraan pribadi.
Sebagai angkutan missal yang diharapkan dapat melaju cepat, bus transjakarta di Koridor VIII justru melaju sama lambatnya dengan kendaraan pribadi. Karena tidak menjadi bagian dalam proses sterilisasi, jalur bus transjakarta hanya dijaga sedikit petugas di jalan Sultan Iskandar Muda.
Polisi yang sering menilang penerobos jalaur transjakarta juga jarang terlihat beroperasi di Koridor VIII. Koridor ini bagaikan anak tiri BLU Transjakarta karena jumlah busnya terbatas dan jalurnya paling banyak diterobos oleh kendaraan pribadi. Keruwetan di jalur regular juga terlihat di Jalan Daan Mogot, Jakarta barat. Pengguna sepeda motor yang tergencet jalur pedestrian yang ada di sisi jalan. “Kalau jalannya ngak macet, ya ngak lewat sini,” katanya.
Fasilitas park and ride yang seharusnya ada untuk memudahkan pengguna bus transjakarta pun ternyata belum memadai. Di Terminal Kalideres, lokasi park and ride berada dibagian belakang terminal dan tertutup bus-bus antarkota antarprovinsi yang parker. Tidak ada plang besar atau papan petunjuk arah yang memberi tahu adanya park and ride dan mengundang masyarakat memanfaatkan saran tersebut.
Lahan park and ride di sebelah Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, tampak merana dan sepi pengguna. Selain tak dilengkapi papan petunjuk, bentuk lahan pun menyulitkan kendaraan yang hendak masuk ke sana dan rawan banjir. Lahan rawan banjir karena dibuat lebih rendah dari dataran sekelilingna.
Hanya di Ragunan, fasilitas park and ride berfungsi optimal. Lebih dari kendaraan, mobil atau sepeda motor tertampung di sini. Selain masalah fasilitas, keberadaaan bus transjakarta yang belum menjangkau seluruh wilayah kota dan belum terintegrasi dengan moda transportasi lain menyebabkan warga enggan menggunakanya.
Wijaya (22), warga tanah abang yang bekerja di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat, dan Anwar (26), warga kampong Lebak Pasir, Pejaten, Jakarta Selatan, yang bekerja di Karet, Jakrta Pusat, mengatakan, dari rumah ke tempat kerja, mereka setidaknya butuh tiga kali ganti anggutan umum. Kalau pakai angkutan umum, Anwar harus mengeluarkan uang Rp 7.500 – Rp 9.000 sekali jalan. Sementara dengan Rp 9.000 itu, ia bisa membeli bensin dan memakai sepeda motornya pergi pulang kerja selama dua hari.
Tidak Sempurna
Penerapan sterilisasi jalaur khusus bus transjakarta, menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, memang sebuah kebijakan tak sempurna. Kebijakan yang muncul akibat tekanan dan tidak didukung kebijakan lain yang menunjang. Akibatnya, muncul kesenjangan tajam di jalanan.
Namun, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Pemprov DKI diminta segera melengkapi fasilitas yang dibutuhkan. Sementara pemerintah pusat wajib mendukung dengan mempermudah upaya intergrasi dengan moda transportasi lain, seperti kereta api, dan secara bersamaan menata system transportasi Jabodetabek.
Komentar
Posting Komentar
Ayo utarakan saran atau tambahan atau bahkan kritik lewat Komentar